WahanaNews-Kalteng | Mahkamah Konstitusi menolak gugatan uji materi UU ITE yang dilontarkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
MK memutuskan menolak gugatan uji materi Pasal 40 ayat 2b terkait tindakan pemerintah yang memutus internet sebagaimana Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena tindakan itu dianggap konstitusional.
Baca Juga:
Menginspirasi Generasi Z: Zizie, Mahasiswa dengan Semangat Berwirausaha
"Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Amar putusan, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Anwar Usman saat sidang seperti dikutip melalui channel YouTube MK, Rabu (27/10/2021).
Di mana dalam gugatan tersebut, para pemohon yakni Arnoldus Belau selaku perorangan dan AJI yang diwakili Abdul Manan berdalil jika Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 280 ayat (1), Pasal 28F UUD 1945.
Di mana menurut mereka, tindakan pemerintah dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik setelah mengeluarkan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara secara tertulis untuk melakukan pemutusan akses adalah melanggar hukum.
Baca Juga:
Pesan Natal KWI dan PGI: “Marilah Sekarang Kita Pergi ke Betlehem” (Luk 2:15)
Namun menanggapi dalil tersebut, hakim mahkamah dalam pertimbangnya menilai bila dalam norma Pasal 40 ayat (2b) UU ITE telah memuat adanya prosedur yang mesti dilakukan pemerintah dalam melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan pemutusan akses.
"Terkait dengan adanya pemutusan akses, telah pula disediakan aturan mengenai tata cara untuk menormalkan atau memulihkan sehingga tetap terjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban semua pihak dalam penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana cerminan kehidupan dalam suatu negara hukum," kata hakim.
Sehingga, hakim menyatakan pemutusan akses internet tidaklah bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat 3 UU 1945. Karena, melihat internet sangat cepat dan tidak mengenal ruang dan waktu hanya bisa diputus untuk menghindari dampak yang lebih buruk.
"Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dengan alasan untuk membangun dan menjaga etika dalam penyelenggaraan pemerintahan, mewajibkan check and balance demi kepastian," katanya.
Namun demikian, dalam putusan kali ini dari sembilan hakim terdapat dua hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion), mereka adalah Saldi Isra dan Suhartoyo.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan uji materi Pasal 40 ayat 2b terkait tindakan pemerintah yang memutus internet sebagaimana Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Karena tindakan itu dianggap konstitusional.
"Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Amar putusan, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Anwar Usman saat sidang seperti dikutip melalui channel YouTube MK, Rabu (27/10/2021).
Di mana dalam gugatan tersebut, para pemohon yakni Arnoldus Belau selaku perorangan dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang diwakili Abdul Manan berdalil jika Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 280 ayat (1), Pasal 28F UUD 1945.
Di mana menurut mereka, tindakan pemerintah dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik setelah mengeluarkan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara secara tertulis untuk melakukan pemutusan akses adalah melanggar hukum.
Namun menanggapi dalil tersebut, hakim mahkamah dalam pertimbangnya menilai bila dalam norma Pasal 40 ayat (2b) UU ITE telah memuat adanya prosedur yang mesti dilakukan pemerintah dalam melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan pemutusan akses.
"Terkait dengan adanya pemutusan akses, telah pula disediakan aturan mengenai tata cara untuk menormalkan atau memulihkan sehingga tetap terjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban semua pihak dalam penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana cerminan kehidupan dalam suatu negara hukum," kata hakim.
Sehingga, hakim menyatakan pemutusan akses internet tidaklah bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat 3 UU 1945.
Karena, melihat internet sangat cepat dan tidak mengenal ruang dan waktu hanya bisa diputus untuk menghindari dampak yang lebih buruk.
"Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dengan alasan untuk membangun dan menjaga etika dalam penyelenggaraan pemerintahan, mewajibkan check and balance demi kepastian," katanya.
Namun demikian, dalam putusan kali ini dari sembilan hakim terdapat dua hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion), mereka adalah Saldi Isra dan Suhartoyo.
AJI gugat UU ITE ke MK
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengajukan permohonan pengujian uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik dan mengusulkan agar pemutusan akses internet dilakukan berdasarkan putusan pengadilan.
Dikutip dari Antara, dalam sidang pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (12/10/2021), yang disiarkan secara daring, AJI yang mengajukan permohonan itu bersama Pimpinan Redaksi Suara Papua, Arnoldus Belau, mempersoalkan Pasal 40 ayat (2b).
Pasal 40 ayat (2b) UU ITE berbunyi, "Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum".
Kuasa hukum para pemohon Busyrol Fuad, dalam permohonannya, mendalilkan pasal tersebut membuat pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses informasi berdasarkan penafsiran yang dilakukan secara sepihak atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dianggap melanggar hukum.
"Kewenangan pemerintah dalam pasal tersebut dikhawatirkan akan membuka peluang untuk bertindak secara sewenang-wenang dalam pelaksanaannya. Dan kekhawatiran tersebut terbukti dengan adanya kerugian konstitusional yang dialami oleh pemohon," tutur Busyrol Fuad.
Menurut dia, meski UU ITE mengatur perbuatan yang dilarang dan dianggap melanggar hukum sebagai acuan pemerintah memutus akses, tetapi pengaturan dalam undang-undang tersebut dinilai sumir dan tidak jelas batasan terpenuhinya unsur perbuatan.
Selain itu, penafsiran pemerintah sebelum melakukan pemutusan akses atau penutupan konten dinilai menghilangkan kewenangan pihak penegak hukum dan peradilan.
Untuk itu, norma dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE, menurut para pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Agar konstitusional, para pemohon mengusulkan agar pemutusan akses atau penutupan konten dapat dilakukan pemerintah setelah diputus dalam pengadilan dan berkekuatan hukum tetap. [non]