WahanaNews-Kalteng | Rusia meluncurkan serbuan terhadap Ukraina, melalui udara, darat dan laut.
Pasukan Rusia mengebom pusat-pusat kota dan terus mendekati ibu kota Kyiv, sehingga menyebabkan pengungsian besar.
Baca Juga:
Bom Truk Koyak Jembatan Krimea, Tiga Orang Tewas
Selama berbulan-bulan Presiden Rusia, Vladimir Putin, membantah berencana menyerang negara tetangga Ukraina namun ia mencabut perjanjian damai sendiri dan mengibarkan apa yang disebut Jerman, "Perang Putin."
Pasukan Rusia dikerahkan dari arah utara, timur dan selatan dengan Putin mengumumkan peluncuran "operasi militer khusus".
Hingga hari ini, Selasa (8/3/2022), Operasi militer Rusia ke Ukraina telah memasuki hari ke-13.
Baca Juga:
Soal Dialog Damai, Zelensky Minta Rusia Ganti Presiden Dulu
Dan Rusia siap menghentikan operasi militernya "dalam sekejap" apabila Ukraina memenuhi beberapa tuntutan.
Demikian disampaikan oleh Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov, pada Senin (7/3/2022).
Dia membeberkan berbagai hal yang menjadi tuntutan Rusia terhadap Ukraina untuk bisa dipenuhi.
Antara lain:
- Ukraina menghentikan aksi militer
- Mengubah konstitusinya untuk mengabadikan netralitas
- Mengakui Crimea sebagai wilayah Rusia
- Mengakui republik separatis Donetsk dan Lugansk sebagai negara merdeka.
Ini bisa jadi adalah pernyataan Rusia yang paling eksplisit sejauh ini tentang persyaratan yang ingin diterapkan pada Ukraina untuk menghentikan apa yang disebutnya sebagai operasi militer khusus.
Peskov mengatakan kepada Reuters dalam sebuah wawancara telepon bahwa Ukraina mengetahui kondisi tersebut.
"Dan mereka diberitahu bahwa semua ini (invasi) bisa dihentikan dalam sekejap," ungkap dia.
Tapi, kata Peskov, tidak ada reaksi segera dari pihak Ukraina.
Rusia diketahui telah menyerang Ukraina dari utara, timur, dan selatan, menggempur kota-kota termasuk Kyiv, Kharkiv, dan pelabuhan Mariupol.
Serangan yang diluncurkan sejak Kamis (24/2/2022), telah menyebabkan krisis pengungsi terburuk di Eropa sejak Perang Dunia II, memicu kemarahan di seluruh dunia, dan menyebabkan sanksi berat terhadap Moskwa.
Tapi, juru bicara Kremlin itu bersikeras bahwa Rusia tidak berusaha untuk membuat klaim teritorial lebih lanjut di Ukraina dan mengatakan "tidak benar" bahwa pihaknya menuntut penyerahan Kyiv.
"Kami benar-benar menyelesaikan demiliterisasi Ukraina. Kami akan menyelesaikannya. Tetapi yang utama adalah Ukraina menghentikan aksi militernya. Mereka harus menghentikan aksi militer mereka dan kemudian tidak ada yang akan menembak," ungkap Peskov.
Disinggung mengenai masalah netralitas, Peskov mengatakan Ukraina harus harus membuat amandemen konstitusi yang mana mereka akan menolak setiap tujuan untuk memasuki blok mana pun.
"Kami juga telah berbicara tentang bagaimana mereka harus mengakui bahwa Crimea adalah wilayah Rusia dan bahwa mereka perlu mengakui bahwa Donetsk dan Lugansk adalah negara merdeka. Dan hanya itu. Itu (invasi) akan berhenti sebentar lagi," tambah dia.
Pembicaraan Baru
Garis besar tuntutan Rusia datang ketika delegasi dari Rusia dan Ukraina bersiap bertemu pada Senin ini, untuk pembicaraan putaran ketiga yang bertujuan mengakhiri perang Rusia melawan Ukraina.
Ini dimulai segera setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengakui dua wilayah yang memisahkan diri di Ukraina timur, di mana separatis yang didukung Rusia telah memerangi pasukan pemerintah Ukraina sejak 2014, sebagai wilayah independen.
Tindakan ini telah dikecam sebagai ilegal oleh Barat.
"Ini bukan kami yang merebut Lugansk dan Donetsk dari Ukraina. Donetsk dan Lugansk tidak ingin menjadi bagian dari Ukraina. Tapi, itu tidak berarti mereka harus dihancurkan sebagai hasilnya," kata Peskov.
"Selebihnya. Ukraina adalah negara merdeka yang akan hidup seperti yang diinginkannya, tetapi dalam kondisi netralitas," ujar dia.
Peskov mengatakan semua tuntutan telah dirumuskan dan diserahkan selama dua putaran pertama pembicaraan antara delegasi Rusia dan Ukraina, yang berlangsung pekan lalu.
"Kami berharap semua ini akan berjalan baik dan mereka akan bereaksi dengan cara yang sesuai," kata Peskov.
Dia menyampaikan, Rusia telah dipaksa untuk mengambil tindakan tegas untuk memaksa demiliterisasi Ukraina, daripada hanya mengakui kemerdekaan daerah yang memisahkan diri.
Pevkov menyebut upaya ini bertujuan untuk melindungi 3 juta penduduk berbahasa Rusia di republik-republik tersebut, yang katanya sedang diancam oleh 100.000 tentara Ukraina.
"Kami tidak bisa begitu saja mengenali mereka. Apa yang akan kami lakukan dengan 100.000 tentara yang berdiri di perbatasan Donetsk dan Lugansk yang dapat menyerang kapan saja. Mereka selalu membawa senjata AS dan Inggris," katanya.
Menjelang invasi Rusia, Ukraina berulang kali dan dengan tegas membantah pernyataan Moskwa bahwa pihaknya akan melakukan serangan untuk merebut kembali wilayah separatis dengan paksa.
Peskov mengatakan situasi di Ukraina telah menimbulkan ancaman yang jauh lebih besar bagi keamanan Rusia daripada yang terjadi pada tahun 2014, ketika Rusia juga telah mengumpulkan 150.000 tentara di perbatasannya dengan Ukraina, memicu kekhawatiran akan invasi Rusia, tetapi membatasi tindakannya pada pencaplokan wilayah Crimea.
“Sejak itu situasinya memburuk bagi kami. Pada 2014, mereka mulai memasok senjata ke Ukraina dan mempersiapkan tentara untuk NATO, membawanya sesuai dengan standar NATO,” katanya.
"Pada akhirnya yang menjadi keseimbangan adalah kehidupan 3 juta orang di Donbass ini. Kami mengerti bahwa mereka akan diserang," ungkap Peskov.
Peskov mengatakan Rusia juga harus bertindak dalam menghadapi ancaman yang dirasakannya dari NATO, dengan mengatakan itu "hanya masalah waktu" sebelum aliansi itu menempatkan rudal di Ukraina seperti yang terjadi di Polandia dan Rumania.
"Kami baru mengerti bahwa kami tidak tahan dengan ini lagi. Kami harus bertindak," ungkap dia. [Ss]