WahanaNews-Kalteng | Kementerian Kesehatan mengakui, ada klaim tagihan penanganan Covid-19 yang tak bisa dibayarkan pemerintah kepada rumah sakit.
Pada 2020, ada tagihan Rp 5,49 triliun yang tak bisa dibayarkan.
Baca Juga:
Korupsi APD Kemenkes, KPK Ungkap Satu Tersangka Beli Pabrik Air Minum Kemasan Rp60 Miliar
Kemudian, di 2021, ada Rp 2,42 triliun.
Ada berbagai penyebab yang akhirnya membuat triliunan tagihan tak bisa dicairkan oleh pemerintah.
Mulai dari dispute atau ketidaksesuaian antara RS dan BPJS Kesehatan, hingga RS yang telat melaporkan klaim alias sudah kedaluwarsa.
Baca Juga:
Kemenkes: Dampak Pestisida Sistemik pada Anggur Muscat Bisa Bertahan Meski Dicuci
"Kami dibantu BPJS untuk memverifikasi, sebelum dilakukan pembayaran," kata kata Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes, Siti Khalimah, dalam konferensi pers, Minggu (13/2/2022).
BPJS memverifikasi klaim yang disampaikan rumah sakit.
Lalu, BPJS akan menerbitkan lima status.
Pertama yaitu Sesuai.
Bila tagihan atau klaim dinyatakan sesuai, maka BPJS akan menerbitkan Berita Acara Hasil Verifikasi (BHAV) dan dilaporkan ke Kemenkes.
"Sebagian besar klaim sebenarnya sesuai," kata Siti.
Tahun 2020, total klaim Rp 40,6 triliun dan yang sudah dibayar dan sesuai Rp 35,11 triliun.
Tahun 2021, total klaim Rp 90,2 triliun.
Jumlah yang bisa dibayarkan dan sesuai yaitu Rp 87,78 triliun.
Dari Rp 87,78 triliun, masih ada sisa Rp 25,1 triliun yang harus dibayar di 2022.
Status kedua yaitu dispute.
BPJS akan menerbitkan BAHV dispute dan diselesaikan oleh Tim Penyelesaian Klaim Dispute (TPKD) Provinsi.
"Klaim dispute bisa dinyatakan sesuai kalau rumah sakit bisa buktikan dan kumpulkan dokumen yang dibutuhkan," kata dia.
Dispute contohnya terjadi ketika RS harus melampirkan bukti tes PCR bagi pasien yang dirawat, tapi tak melampirkannya.
"Atau pasien harus dilakukan rontgen, tapi RS tak melampirkan foto rontgen, dan tak bisa memenuhi juga," ujar Siti.
Tahun 2020, klaim dispute mencapai Rp 5,6 triliun dan naik di 2021 menjadi Rp 12,94 triliun.
Tapi, di 2021, sebanyak Rp 6,4 triliun ternyata layak bayar dan Rp 1,74 triliun tetap tak bisa dibayarkan.
Status ketiga yaitu Pending.
Ini terjadi ketika dokumen yang diterima BPJS dari RS belum lengkap dan diberi waktu 14 hari.
"Kalau RS bisa melengkapi, maka dinyatakan sesuai dan dikirim BAHV ke kami (Kemenkes)," kata dia.
Status ketiga ini bisa berubah jadi tak bisa dibayarkan.
Ini terjadi ketika RS tak kunjung melengkapi dokumen selama 14 hari, atau memberikan dokumen yang tidak sesuai.
Status keempat yaitu Tidak Sesuai, yaitu klaim yang memang tidak sesuai dari awal proses pengajuan oleh RS.
Status kelima yaitu Kedaluwarsa atau klaim dari RS melewati masa pengajuan yang ditetapkan Kemenkes.
Ketentuan Kedaluwarsa ini diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 5673 Tahun 2021.
Masa kedaluwarsa yaitu dua bulan.
Contohnya, klaim 2021 paling lambat yaitu 28 Februari 2022.
Siti menyebut pihaknya sudah mengingatkan RS soal masa kedaluwarsa ini.
Tapi akhirnya tetap ada triliunan tagihan yang tak bisa dibayarkan.
Tahun 2020, klaim kedaluwarsa yaitu Rp 1,14 triliun dan juga tagihan Rp 4,3 triliun tak bisa dibayarkan.
"Ini kenapa terjadi banyak tak bisa dibayarkan, karena saat itu kita masih gunakan sistem pengajuan satu per satu," kata dia.
Nilainya sudah menurun di 2021.
Klaim kedaluwarsa dan tak sesuai jadi Rp 680 miliar dan dispute yang tak dapat dibayarkan yaitu Rp 1,74 triliun.
"Karena RS sudah antisipasi terkait batas waktu, dan memahami bagaimana mengajukan klaim sehingga tak dinyatakan dispute," kata dia.
Untuk mengurangi dispute dan kedaluwarsa ini, Siti menyebut Kemenkes sudah memberikan sejumlah saran kepada RS.
Mulai dari penyiapan tim khusus klaim Covid-19 sampai meminta manajemen RS turun langsung.
Siti menuturkan, Direktur Rumah Sakit harus menandatangani BAHV hingga Berita Acara Rekonsiliasi (BAR), dokumen pengecekan ulang dari Kemenkes sebelum pencairan tagihan.
"Ini agak lama, kadang Direktur RS-nya belum terinfo oleh tim klaim, sedangkan kami koordinasi dengan tim klaim," kata dia. [Ss]