WahanaNews-Kalteng | Presiden Joe Biden minta perusahaan swasta di Amerika Serikat (AS) untuk memperkuat pertahanan digital dari kemungkinan serangan siber Rusia.
Pasalnya, Rusia pernah melakukan tiga serangan siber yang membuat negara Barat ketar-ketir.
Baca Juga:
Polisi Ungkap 300.000 Data Dibeli Sindikat Kejahatan Siber dari Dark Web
Meski belum ada bukti yang menunjukkan Rusia berencana melakukan serangan siber, Biden mengklaim adanya kemungkinan serangan siber ke AS.
Rusia sebelumnya menyebut tuduhan ini sebagai sebuah bentuk ketakutan pada Rusia atau yang mereka sebut "Russophobic."
Rusia merupakan sebuah negara besar di dunia maya dengan persenjataan siber canggih serta peretas yang mampu melakukan serangan siber dengan skala kerusakan signifikan.
Baca Juga:
Pakar Keamanan Siber Ingatkan Pemerintah Soal Batas Waktu Pembentukan Komisi PDP
Invasi Rusia ke Ukraina juga tak luput dari serangan di sektor siber. Namun serangan di sektor ini tampaknya tidak terlalu berdampak pada Ukraina, sehingga sejumlah ahli khawatir Rusia akan mengalihkan serangannya ke sekutu Ukraina.
"Peringatan Biden tampaknya masuk akal, terutama karena Barat memberlakukan lebih banyak sanksi, para peretas terus bergabung, dan serangan dari invasi tampaknya tidak berjalan sesuai rencana," kata Jen Ellis dari perusahaan keamanan siber Rapid7, seperti dikutip dari BBC.
Kekhawatiran Biden pada serangan siber Rusia bukan tak berdasar.
Pasalnya ada tiga serangan siber Rusia yang membuat Barat ketar-ketir.
Berikut 3 serangan siber tersebut:
1. BlackEnergy
Ukraina kerap dideskripsikan sebagai taman bermain bagi hacker atau peretas Rusia. Hal ini dikarenakan negara tersebut seringkali dijadikan target pengujian untuk teknik dan peralatan peretasan.
Pada 2015, listrik di Ukraina terganggu akibat serangan siber yang disebut BlackEnergy yang membuat listrik dari 80 ribu di Ukraina Barat lumpuh.
Berselang hampir setahun, serangan lain yang diberi nama Industroyer melumpuhkan seperlima pasokan energi di Kyiv, ibu kota Ukraina selama hampir satu jam.
AS dan Uni Eropa (UE) menuduh peretas dari militer Rusia sebagai dalang dari rangkaian tersebut.
"Rusia dapat mencoba melakukan serangan semacam ini terhadap Barat untuk menunjukkan kemampuan dan untuk membuat pernyataan," kata responden keamanan siber Ukraina Marina Krotofil, yang membantu menyelidiki peretasan pemadaman listrik.
2. NotPetya
NotPetya disebut sebagai serangan siber termahal dalam sejarah. AS, Inggris, dan UE menuduh militer Rusia sebagai sosok di balik serangan siber yang terjadi pada Juni 2017 ini.
Aplikasi penghancur NotPetya tersembunyi dalam sebuah aplikasi akuntansi yang digunakan di Ukraina.
Meski bersembunyi di perangkat lunak lokal, NotPetya menyebar ke seluruh dunia dan menyerang sistem komputer dari ribuan perusahaan.
Serangan tersebut menyebabkan kerugian hingga US$10 miliar atau sekitar Rp143 triliun.
Meski demikian, ilmuwan komputer dari University of Surrey, Alan Woodward mengatakan serangan semacam ini juga memiliki risiko untuk Rusia karena sifatnya yang sulit dikontrol.
"Jenis peretasan yang tidak terkendali ini lebih seperti perang biologis, karena sangat sulit untuk menargetkan infrastruktur kritis tertentu di tempat-tempat tertentu," ujarnya.
3. Colonial Pipeline
Pada Mei 2021, status darurat dinyatakan di beberapa wilayah AS setelah sebuah serangan peretas menyebabkan jaringan pipa minyak yang sangat vital terganggu.
Serangan tersebut mengganggu jaringan pipa minyak Colonial yang menangani 45 persen suplai diesel, bensin, dan bensin jet untuk wilayah pesisir timur AS.
Serangan ini disebut bukan berasal dari peretas pemerintah Rusia, melainkan grup ransomware DarkSide, yang diduga bermarkas di Rusia.
Perusahaan minyak ini menyetujui untuk membayar US$4,4 juta atau Rp63,1 miliar dalam bentuk Bitcoin sebagai biaya pembebasan sistem komputer mereka.
Sosok di balik serangan siber Rusia
AS baru-baru ini mengumumkan dakwaan pada empat orang staf pemerintah Rusia karena diduga terlibat dalam sejumlah serangan siber yang terjadi antara 2012 hingga 2018.
Dalam sebuah dokumen tertanggal Agustus 2021, pengadilan menyebut tiga orang terduga peretas dari Lembaga Keamanan Federal Rusia melakukan serangan komputer pada perusahaan minyak dan gas, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), dan sejumlah perusahaan energi di seluruh dunia pada 2012 hingga 2017.
Dilansir dari The Guardian, tiga orang tersebut adalah Pavel Aleksandrovich Akulov (36), Mikhail Mikhailovich Gavrilov (42), dan Marat Valeryevich Tyukov (39).
Dalam dokumen lain, pengadilan AS menuduh Evgeny Viktorovich Gladkikh, pegawai lembaga penelitian kementerian pertahanan Rusia berkonspirasi dengan beberapa pihak untuk meretas sistem kilang asing dan memasang malware yang dikenal sebagai "Triton" pada sistem keamanan yang diproduksi oleh Schneider Electric. [Ss/rin]