WahanaNews-Kalteng | Di Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga di Kampung Rawagede, Karawang, terdapat nisan yang bertulisan nama Tongwan.
Menurut cerita orang-orang tua di sana, Tong Wan adalah anak muda kelahiran Karawang pada 1928 yang dikenal sangat fanatik terhadap Republik.
Baca Juga:
Jelang HUT TNI ke 78, Panglima TNI Ziarah ke Makam Jenderal Soedirman
Menurut Telan (95) dan Kastal (96), sejak 1946 Tongwan telah banyak keluar masuk organisasi perlawanan melawan Belanda. Mulai laskar Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) dan Hizbullah, sebelum akhirnya direkrut oleh TRI (Tentara Republik Indonesia).
Pemuda Tong Wan lahir dan besar di kalangan keluarga Tionghoa kaya. Ayahnya adalah salah seorang pedagang kelontong paling sukses di Rawagede. Orang-orang menyebutnya sebagai Babah Engkim, pemasok kebutuhan sehari-hari para juragan beras dan kaum Indo Eropa.
Berbeda dengan bapaknya yang memilih untuk 'tutup mata' terhadap arus revolusi yang tengah mengalir deras saat itu, Tongwan memutuskan untuk memihak republik setegas-tegasnya.
Baca Juga:
Polisi Amankan Unras Solidaritas Rempang Galang di Makam Pahlawan
Artinya dia berlaku bukan sebagai mata-mata atau simpatisan semata, tapi langsung turun menjadi bidak revolusi di palagan-palagan sekitar Karawang. Telan mengenang Tongwan sebagai pemuda periang dan supel. Kepada siapapun dia selalu berusaha bersikap ramah.
"Berbeda dengan orang-orang China umumnya, dia bergaul dengan masyarakat," kata Telan, rekan Tong Wan di Hizbullah.
Desember 1947, dinihari militer Belanda menyerbu Rawagede. Kastal masih ingat bagaimana Tongwan yang bertubuh agak pendek namun kekar itu, keluar Markas TRI dengan tergopoh-gopoh.
Sembari mengokang karaben Jepangnya, dia berteriak kepada orang-orang kampung untuk secepatnya menyelamatkan diri masing-masing. Pada saat itulah, sebutir peluru menembus dadanya.
"Saya dengar, dia masih teriak 'merdeka'," kenang Kastal.
Tongwan tersungkur di pinggir sungai dengan lumuran darah memenuhi seluruh tubuhnya. Beberapa serdadu Belanda menendangnya sebelum melepaskan lagi tembakan penghabisan ke tubuh malang itu. Tongwan mengerejat sejenak, nyawanya lantas terbang meninggalkan raganya yang terkapar kaku.
Jasad Tong Wan sekarang dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga Rawagede. Nisan sederhana yang tertulis namanya, menjadi saksi bisu bahwa gerakan pembebasan bukan soal etnis, agama atau warna kulit melainkan keyakinan akan kemerdekaan yang diinginkan setiap manusia di mana pun berada.
Hampir sezaman dengan Tong Wan, di Solo tersebutlah seorang anak muda Tionghoa lain bernama Sie King Lin. Pada 1949, remaja kelahiran tahun 1933 itu tercatat sebagai anggota Tentara Pelajar Subwehrkreise 106 Arjuna.
Bersama rekannya bernama Soehadi, King Lin yang akrab dipanggil Ferry, dikenal kawan-kawannya sebagai dua serangkai yang pandai membuat pamflet dan coretan propaganda melawan pendudukan tentara Belanda.
"Salah satu karya mereka yang dikenal masyarakat Solo saat itu adalah sebaris coretan yang tertera di suatu tembok, berbunyi “eens komt de dag dat Republik Indonesia zal herrijzen” yang artinya: pada suatu hari Republik Indonesia akan muncul kembali," ungkap Iwan Santosa Ong, penulis buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara sampai Indonesia.
Suatu malam pada 14 Juli 1949, King Lin bersama Soehadi kembali melakukan aksinya. Tak dinyana, saat mereka memasang pamflet di satu tembok kota, kepergok suaseregu patroli militer Belanda yang dilengkapi sebuah panser.
Terjadilah pertempuran yang tak seimbang yang pada akhirnya menyebabkan kedua remaja patriotik itu gugur tertembak peluru senapan mesin tentara Belanda.
Jasad Soehadi dan King Lin yang merupakan keponakan pengusaha pabrik gelas di Kertodipuran belakangan dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Bahagia, Jurug, Solo. Pemakaman kembali dilakukan secara militer dalam suasana yang khidmat dan penuh keharuan karena menghadirkan keluarga dan kawan-kawan seperjuangannya. [Ss]