WahanaNews-Kalteng | Patagonia adalah wilayah geografis yang terdiri dari bagian paling selatan Amerika Selatan. Wilayah ini terletak di Argentina dan Chile.
Gletser Patagonia adalah salah satu dari beberapa lapisan es yang paling cepat mencair di Bumi.
Baca Juga:
Salju Abadi di Dekat Puncak Papua Jaya Cepat Menyusut, Temuan BMKG Bikin Ngeri
Saat gletser-gletser ini menghilang, lapisan Bumi yang berada di bawahnya, ikut melambung jauh lebih cepat dari yang diperkirakan.
Dalam studi terbaru, para ilmuwan menemukan celah di lempeng tektonik yang mulai terbentuk sekitar 18 juta tahun yang lalu di bawah bidang es yang sekarang menyusut.
Celah ini kemungkinan mendorong terangkatnya batuan yang baru-baru ini terlihat di Patagonia.
Baca Juga:
Beberapa Gletser di Dunia Terancam Hilang pada 2050
"Variasi ukuran gletser, saat mereka tumbuh dan menyusut, dikombinasikan dengan struktur mantel yang kami gambarkan dalam penelitian ini, mendorong peningkatan cepat dan variabel spasial di wilayah ini," kata ahli geofisika Hannah Mark dari Woods Hole Oceanographic Institution yang memimpin penelitian, dikutip dari Science Alert, Kamis (3/3/2022).
Ketika gletser mencair, lapisan Bumi yang pernah berada di bawahnya, akan memantul dan naik, karena tidak lagi terbebani oleh lapisan es setebal bermil-mil.
Peningkatan ini, yang disebut penyesuaian isostatik glasial, biasanya terjadi selama ribuan tahun, bukan dalam beberapa dekade, seperti yang terjadi di Patagonia.
Seiring dengan air lelehan yang menyembur dari gletser, hal itu mempengaruhi seberapa banyak permukaan laut global akan naik di bawah skenario pemanasan iklim di masa depan yang sedang dimodelkan oleh para ilmuwan.
Pengangkatan lapisan Bumi secara cepat lebih dari 4 cm per tahun, tercatat telah terjadi di lapisan es Patagonia utara dan selatan.
Lapisan di wilayah tersebut kini menipis dan menjadi hanya sebagian kecil dari ukuran sebelumnya.
Kenaikan lapisan batuan di bawahnya yang kira-kira sepanjang jari kaki mungkin terdengar sepele.
Namun menurut para ilmuwan, ini adalah perubahan yang ekstrem, tidak biasa, dan tiba-tiba pada skala benua.
Perubahan ini juga tercatat menjadi penyesuaian glasial terbesar yang pernah tercatat saat ini.
Dalam studinya, Mark dan rekannya mencatat data seismik di sekitar ladang es Patagonia yang melingkupi Pegunungan Andes di Chili selatan dan Argentina, untuk memetakan apa yang terjadi di bawah permukaan.
Pengumpulan data berjalan 10 bulan lebih lama dari yang direncanakan, karena instrumen seismik terjebak di Patagonia selama tahun pertama pandemi COVID-19.
Pengukuran tersebut, dikombinasikan dengan data seismik lainnya dari stasiun pemantauan lokal, untuk mengungkapkan bagaimana celah di lempeng tektonik yang turun hampir 100 kilometer di bawah Patagonia telah memungkinkan material mantel yang lebih panas dan kurang kental mengalir di bawah benua.
Jika perkiraan para peneliti benar, viskositas yang lebih rendah dari biasanya di mantel di bawah bidang es Patagonia ini, dapat mempercepat pengangkatan benua yang terkait dengan pencairan es hingga beberapa dekade atau abad.
"Viskositas rendah berarti bahwa mantel merespons deglaciation pada skala waktu puluhan tahun, bukan ribuan tahun, seperti yang kita amati di Kanada misalnya," kata seismolog Douglas Wiens dari Washington University di St Louis.
"Ini menjelaskan mengapa GPS mengukur pengangkatan besar karena hilangnya massa es (di Patagonia)," ujarnya.
Di sekitar dan di dalam pembukaan tektonik, seismolog University of Washington Douglas Weins, Mark, dan rekannya juga mendeteksi kecepatan seismik yang sangat lambat, sekitar 8% lebih lambat dari rata-rata global.
Anomali ini menunjukkan suhu mantel yang lebih hangat yang kemungkinan secara termal mengikis litosfer di atasnya yang menipis di bawah bidang es yang menyusut.
Kecepatan mantel yang dangkal dan lambat serta kerak yang menipis telah terdeteksi di bawah bagian Antartika sebelumnya.
Meskipun penelitian sebelumnya memperkirakan pengangkatan Patagonia akan mencapai puncaknya di sekitar laju saat ini, perkiraan kecepatan mantel tidak pasti dan sensitif terhadap suhu mantel.
Dengan demikian, semakin banyak pengukuran akan lebih baik.
Terlebih lagi, penelitian ini menemukan bagian mantel yang paling panas dan paling tidak kental berada di dekat celah, atau jendela lempengan, di bawah bagian ladang es Patagonia yang baru saja terbuka.
"Ini menunjukkan kepada kita bahwa mungkin dinamika mantel yang terkait dengan celah lempengan telah meningkat dari waktu ke waktu, atau bahwa lempeng benua di selatan mulai lebih tebal dan lebih dingin, dan dengan demikian kurang terpengaruh oleh celah lempengan dibandingkan bagian dari lempeng yang lebih jauh ke utara," jelas Mark.
Terpencil seperti Patagonia, konsekuensi dari perubahan glasial dan tektonik ini akan terasa secara global.
Pasalnya, gletser yang mencair dengan cepat berkontribusi pada kenaikan permukaan laut global yang telah mengancam komunitas dataran rendah.
Pemahaman yang lebih baik tentang massa daratan yang bergeser ini dapat meningkatkan prediksi kenaikan permukaan laut.
Selain itu, apa yang dipelajari para ilmuwan tentang gletser di satu bagian dunia dapat membantu studi massa es di tempat lain.
"Memahami evolusi gletser ini membantu kita memahami seperti apa gletser di Greenland dan Antartika di masa depan dalam iklim yang jauh lebih hangat," kata ahli glasiologi Eric Rignot di Jet Propulsion Laboratory NASA.
"Dengan model Bumi yang lebih baik, kita dapat melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam merekonstruksi perubahan terbaru di lapisan es (Patagonia)," tambah Wiens. [Ss]