WahanaNews-Kalteng | Dua ilmuwan Australia mengungkapkan letusan gunung berapi bawah laut di Tonga setara dengan 1.000 bom nuklir Amerika Serikat (AS) yang meluluhlantakkan Hiroshima, Jepang.
Erupsi gunung berapi Hunga Tonga-Hunga Ha'apai pada Sabtu malam itu telah memicu tsunami di kawasan Pasifik.
Baca Juga:
Fajar/Rian Juara Kumamoto Masters 2024
Gunung berapi bawah laut itu berjarak sekitar 50 kilometer dari Ibu Kota Tonga, Nuku'alofa. Namun, ibu kota tersebut sempat gelap gulita tertutup abu vulkanik.
Dua ilmuwan yang menggambarkan efek dahsyat erupsi itu adalah Brian Schmidt; ilmuwan pemenang hadiah Nobel dan wakil rektor Australian National University (ANU), dan Profesor Richard Arculus; pakar ternama di Research School of Earth Sciences di ANU College of Science.
Kedua ilmuwan itu menuliskan analisisnya dalam artikel di The Sydney Morning Herald, Senin (17/1/2022).
Baca Juga:
Takumi Minamino Senang Namanya Sejajar dengan Legenda Jepang Shunsuke Nakamura
Belum ada laporan tentang korban jiwa maupun luka di Tonga akibat erupsi dan tsunami karena jaringan komunikasi di sana masih terputus. Namun, Perdana Menteri Selandia Baru Jacina Ardern yang berhasil melakukan kontak dengan kedutaannya di Tonga menyebut negara Pasifik itu mengalami kerusakan signifikan.
"Dalam pertama yang unik, seluruh dunia menyaksikan ledakan luar biasa secara real-time dari generasi baru satelit cuaca resolusi tinggi, yang menunjukkan secara rinci kekuatan dan skalanya yang menghancurkan," tulis kedua ilmuwan tersebut dalam artikel mereka.
Erupsi gunung berapi tersebut menyemburkan awan jamur yang dengan cepat menutupi area erupsi dan kawasan Nuku'alofa. Kecepatan semburan awan jamur itu, menurut kedua ilmuwan, setara dua kali lipat kecepatan suara.
"Gelombang suara terlihat menyebar ke seluruh Pasifik dengan kecepatan 1.200 kilometer per jam," lanjut kedua ilmuwan tersebut.
Gunung berapi Hunga Tonga-Hunga Ha'apai adalah sisa-sisa bangunan vulkanik yang lebih tua. Pada tahun 2004, kapal penelitian Fasilitas Nasional Kelautan Australia memetakan bagian gunung berapi yang terendam di mana pulau-pulau tersebut merupakan pecahan di atas air.
Beberapa bagian Tonga mengalami pemadaman listrik, berdampak pada saluran telepon dan layanan Internet.
Menurut kedua ilmuwan, ukuran akurat dari total energi letusan Hunga Tonga-Hunga Ha'apai akan muncul ketika data dari banyak sumber dikumpulkan, tetapi sudah jelas bahwa ini adalah letusan yang signifikan.
"Mungkin tidak sebesar letusan Krakatau tahun 1883 yang terkenal di Indonesia, yang gelombang suaranya secara terukur mengelilingi dunia tujuh kali dengan instrumen hari itu, tetapi mungkin lebih besar daripada gunung berapi mana pun sejak Gunung Pinatubo di Filipina pada tahun 1991," papar kedua ilmuwan.
Letusan Krakatau sangat merusak sebagian besar karena tsunami yang ditimbulkannya dengan 36.000 orang tewas di pulau Sumatra dan Jawa yang berdekatan dengan Selat Sunda, tempat gunung berapi itu berada.
"Energi letusan Krakatau 1883 diperkirakan setara dengan bom nuklir 200 megaton–atau empat kali lebih besar dari bom hidrogen terbesar yang pernah diledakkan di Bumi," lanjut kedua ilmuwan Australia.
"Gunung berapi Hunga Tonga-Hunga Ha'apai mungkin tidak menandingi Krakatau, tetapi energi ledakannya kemungkinan akan menjadi urutan bom nuklir terbesar yang pernah dibuat–setara dengan 1.000 bom Hiroshima."
Menurut mereka, akan sangat menarik untuk melihat kapan pengukuran satelit dari gumpalan abu Hunga Tonga-Hunga Ha'apai tersedia.
"Dari sini, kita dapat memperkirakan jumlah total gas individu seperti belerang dioksida yang telah dimasukkan gunung berapi ke atmosfer," imbuh para ilmuwan.
Sulfur dioksida adalah kebalikan dari gas rumah kaca–dan dalam jumlah besar yang dapat dikeluarkan gunung berapi, letusan mampu mendinginkan Bumi dengan cara yang terukur.
Hal itu terlihat di Pinatubo pada tahun 1991-1992, terutama setelah letusan gunung Tambora (Sumbawa, Indonesia; 1815) dan Krakatau yang benar-benar dahsyat, yang menyebabkan gagal panen global pada tahun-tahun berikutnya.
Ahli vulkanologi Universitas Auckland Shane Cronin dan kolaboratornya telah menunjukkan bahwa Hunga Tonga-Hunga Ha'apai memiliki sejarah letusan dahsyat–setiap 1.000 tahun atau lebih, dan letusan masa lalu bukan hanya peristiwa tunggal, tetapi tampaknya menjadi bagian dari serangkaian letusan selama berbulan-bulan.
Potensi bahaya lebih lanjut bagi penduduk Tonga adalah “runtuhnya sektor” gunung berapi. Secara sederhana, ini adalah tanah longsor bawah laut–banyak gunung berapi bawah laut di Cincin Api umumnya, dan Tonga secara khusus, telah mengalami jenis kejadian yang menghasilkan tsunami tersebut.
"Mengingat skala letusan terbaru ini, mari berharap sebagian besar selesai dan sejarahnya tidak terulang demi masyarakat Tonga, yang mendoakan yang terbaik, dan akan membutuhkan dukungan kuat kami selama beberapa minggu dan bulan mendatang karena mereka bertahan setelah letusan," papar kedua ilmuwan Australia. [As]