WahanaNews-Kalteng | Akhirnya, konflik Rusia vs Ukraina pecah ketika Presiden Rusia Vladimir Putin melakukan invasi di wilayah Ukraina, pada Kamis (24/2/2022).
Putin menyebut invasi dilakukan karena pihaknya tidak memiliki pilihan selain mempertahankan diri dari ancaman Ukraina modern.
Baca Juga:
Bantu Rusia, Terungkap Kim Jong Un Kirim Tentara ke Ukraina
“Rusia tidak bisa merasa aman, berkembang, dan eksis dengan ancaman konstan yang berasal dari wilayah Ukraina modern,” ujarnya dalam pidato yang disiarkan dalam televisi Pemerintah Rusia.
Dilansir dari Al Jazeera, sekitar 1.200 tahun lalu, Rusia, Ukraina, dan Belarusia lahir di tepi Sungai Dnieper di Kievan Rus, sebuah negara adidaya pada abad pertengahan yang luasnya mencakup sebagian besar Eropa Timur.
Meski dari tanah yang sama, Rusia dan Ukraina memiliki perbedaan yang menonjol, mulai dari bahasa, sejarah, dan kehidupan politiknya.
Baca Juga:
Selama di Indonesia Paus Fransiskus Tak Akan Naik Mobil Mewah-Anti Peluru
Namun, Putin berulang kali mengeklaim jika keduanya adalah satu bagian dari peradaban Rusia.
Sementara Ukraina, berulang kali membantah klaim tersebut.
Sebelum pengunduran Gorbachev, tepatnya pada 1 Desember 1991, 90 persen warga Ukraina menyetujui referendum kemerdekaan dari Uni Soviet.
Presiden Ukraina, Belarusia, dan Rusia pun bertemu untuk secara resmi membubarkan Uni Soviet, sesuai aturan yang tertulis dalam Konstitusi Uni Soviet.
Dengan demikian, Ukraina merdeka secara de jure (berdasarkan hukum) dan diakui oleh komunitas internasional.
Setelah Ukraina merdeka, hubungannya dengan Rusia mulai memanas saat Viktor Yushchenko terpilih sebagai Presiden Ukraina pada 2005.
Selama periode kepemimpinan Yushchenko, Ukraina cenderung mendekat ke Uni Eropa ketimbang Rusia. Hal inilah yang kian memanaskan hubungan keduanya.
Hubungan keduanya lumayan mereda saat pemilihan umum (pemilu) 2010, Viktor Yanukovych terpilih menjadi Presiden Ukraina.
Presiden Rusia Vladimir Putin telah mengumumkan operasi militer skala penuh di Ukraina pada Kamis pagi, memberitahu pasukan Ukraina untuk meletakkan senjata mereka dan memperingatkan setiap pasukan yang mengganggu akan menghadapi konsekuensinya.
Ukraina dilanda krisis dengan merebaknya protes di ibu kota Kiev, pada November 2013.
Kala itu, massa menentang keputusan Yanukovych yang menolak kesepakatan integrasi ekonomi yang lebih besar dengan Uni Eropa.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kepemimpinan Yanukovych cenderung dekat dengan Rusia. Inilah yang menjadikan ia menolak integrasi ekonomi Uni Eropa.
Setelah tindakan keras oleh pasukan keamanan, massa unjuk rasa justru bertambah dan konflik pun semakin meningkat.
Puncaknya adalah pada Februari 2014, saat parlemen Ukraina melengserkan Yanukovych dari jabatannya.
Pelengseran Yanukovych menyebabkan konflik dalam pemerintahan Ukraina. Pemerintahan terbagi menjadi dua kubu, yakni pendukung Uni Eropa dan pendukung Rusia.
Pendukung Uni Eropa berasal dari masyarakat dan politisi Ukraina daratan, sedangkan pendukung Rusia berasal dari masyarakat dan politikus Krimea, sebuah semenanjung di kawasan Laut Hitam.
Krisis Krimea (2014)
Awal 2014, Krimea meminta bantuan Rusia untuk menyelesaikan konflik di dalam negerinya.
Pemerintah Rusia pun menerima permintaan tersebut dan mengirimkan pasukannya untuk menduduki Krimea.
Hal tersebut Rusia lakukan lantaran letak geopolitik Krimea yang strategis dan bisa dimanfaatkan Rusia untuk memperkuat pengaruh di kawasan Eropa Timur dan Timur Tengah.
Melihat campur tangan Rusia atas konflik dalam negeri Ukraina, Uni Eropa pun mengecam.
Situasi Ukraina kemudian meningkat pada Juli 2014 dan membuat Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa berselisih dengan Rusia.
Sementara itu, sejak akhir Februari 2014, demonstrasi oleh kelompok pro-Rusia dan anti-pemerintah berlangsung di kota-kota besar di seluruh timur dan selatan Ukraina.
Protes di wilayah Donetsk dan Luhansk meningkat dan berkembang menjadi pemberontakan separatis bersenjata.
Hal tersebut membuat pemerintah Ukraina meluncurkan serangan militer balasan terhadap pemberontak yang berdampak pada munculnya konflik bersenjata di Donbass.
Gagalnya Perjanjian Minsk (2015)
Sejak Februari 2015, Rusia dan Ukraina telah berusaha untuk menghentikan kekerasan melalui Perjanjian Minsk, dengan Perancis dan Jerman sebagai penengah.
Perjanjian tersebut mencakup ketentuan untuk gencatan senjata, penarikan persenjataan berat, serta kontrol penuh pemerintah Ukraina di seluruh zona konflik.
Namun, upaya damai ini gagal dan konflik bersenjata di Donbass masih terus berlangsung hingga sekarang.
Konflik Rusia vs Ukraina yang terjadi saat ini juga disebabkan keinginan Ukraina untuk bergabung dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO).
Keinginan Ukraina tersebut semakin memicu ketegangan antar keduanya.
NATO sendiri adalah organisasi pertahanan dan keamanan di kawasan Atlantik Utara yang meliputi negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada.
Beberapa negara bekas Uni Soviet juga menjadi bagian dari NATO, seperti Lithuania, Estonia, dan Latvia.
Putin akui kemerdekaan Donetsk dan Luhansk (2022)
Konflik kedua negara ini kian memanas saat Senin (21/2/2022) lalu, Putin mengakui kemerdekaan dua wilayah separatis pro-Rusia di Ukraina timur, yakni Donetsk dan Luhansk.
Hal tersebut Putin sampaikan melalui pidato di televisi yang dikelola Pemerintah Rusia.
"Saya percaya perlu mengambil keputusan yang sudah lama tertunda, untuk segera mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk," kata Putin.
Putin melanjutkan dalam pidatonya, bahwa Barat telah meludahi masalah keamanan Rusia selama bertahun-tahun dengan memindahkan NATO ke timur serta menempatkan infrastruktur militer lebih dekat ke perbatasan Rusia.
Hingga puncaknya, Putin pun menyerukan invasi ke wilayah Ukraina pada Kamis (24/2/2022). [Ss]