“Tantangan dari pensiun dini PLTU dari perspektif pendanaan adalah lender potensial selalu melihat program ini terlalu riskan karena eksposur yang tinggi pada batu bara,” kata Sylvi dalam acara Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW), Jakarta, Senin 10 Oktober 2022.
Absennya pensiun dini dalam taksonomi hijau itu, kata Sylvi, belakangan ikut menyulitkan pemerintah untuk menarik pendanaan dari bank komersial untuk mempercepat program transisi energi mendatang.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Apresiasi Pemerintah Beri PLN Kewenangam Kelola Ekspor-Impor Listrik Demi Tingkatkan Efisiensi dan Keamanan Energi
Seperti diketahui, PLN tengah mendorong penghentian operasi PLTU berkapasitas 5,5 GW sebelum 2030 sebagai langkah awal perseroan memberi ruang untuk investasi hijau masuk ke sistem kelistrikan nasional. Manuver itu diperkirakan menelan investasi sebesar US$6 miliar atau setara dengan Rp89,3 triliun, kurs Rp14.890.
Hanya saja program penghentian PLTU seluruhnya hingga 2050 diproyeksikan bakal sulit dilakukan. Center for Global Sustainability University of Maryland memperkirakan kebutuhan dana yang perlu diamankan PLN mencapai US$32,1 miliar atau setara dengan Rp475,4 triliun, asumsi kurs Rp14.810.
Di sisi lain, PLN mesti menaikkan kapasitas serta ekosistem pembangkit EBT dengan nilai investasi menyentuh US$1,2 triliun atau setara dengan Rp17.772 triliun hingga 2050 mendatang.
Baca Juga:
Ada Permintaan Biaya Pemindahan Tiang Listrik, ALPERKLINAS Imbau Konsumen Tanya Langsung Ke PLN
“Ini bukan biaya yang kecil kita harus lihat kemampuan fiskal Indonesia seberapa jauh untuk menyerap ini. Siapa yang seharusnya mendanai ini apakah filantropi, multilateral, bilateral atau swasta tertarik untuk ikut masuk,” kata Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PLN Sinthya Roesly.[ss]