WahanaNews-Kalteng | Executive Vice President Pembangkitan dan Eenergi Baru dan Terbarukan PT PLN (Persero) Herry Nugraha mengungkapkan cara perseroan menyeleksi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang akan menghentikan kebijakan pensiun dini atau pensiun dini pemerintah.
"Bagaiamna pensiun dini itu dipilih, pertama ada empat saringan," kata dia dalam acara Indonesia Sustainable Energy Week di Jakarta, Senin;(10/10/2022).
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Pensiun dini dari PLTU itu merupakan cara pemerintah untuk mencapai target netral karbon atau net zero emission (NZE) pada 2060. Saringan pertama untuk menetapkan PLTU itu akan mencegah pensiun dini atau tidak, kata Herry, adalah kapasitas PLTU memungkinkan dibangun Carbon Capture, Utilaton, dan Penyimpanan (CCUS).
Jika CCUS tidak dapat dibangun karena ruangnya yang terbatas atau malah beban biayanya semakin mahal, maka PLTU itu akan dipensiundinikan.
"Kalau memang tidak mendukung karena mungkin spacenya atau apa yang dibangun maka yang akan disediakan untuk pensiun," ujar Herry.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Kedua, pertimbangan pensiun dini itu dari sisi usia serta fungsi pembangkit. Jika umurnya semakin tua dan keandalannya sudah menurun maka PLTU dipertimbangkan terdampak pensiun dini pada tahap awal.
"Diutamakan juga yang di Jawa, nanti kita lihat dari segi umur, dan pembangkit itu ada fungsinya, ada fungsi baik itu untuk meambah kapasitas atau keandalan itu juga jadi pertimbangan," kata Herry.
Ketiga, dilihat dari sisi lokasinya. Jika PLTU yang sudah dibangun untuk memasok listrik ke pabrik-pabrik atau kawasan ibu kota, maka tidak terkena penerapan pensiun dini dalam waktu dekat. Meskipun ditargetkan pada 2050 seluruh PLTU batu bara sudah pensiun dan digantikan dengan energi baru dan terbarukan.