"Kalau misalnya PLTU nya di Jawa Tengah dan di sisi selatan, itu terlalu jauh untuk supply misalnya ke Jakarta dan Semarang, itu jadi yang utama," ujar dia.
Seleksi terakhir, atau yang keempat, kata Herry, dilihat dari sisi penerapan teknologi PLTU. Jika teknologi yang digunakan PLTU itu semakin kuno maka dipastikannya PLTU itu akan segera terkena masa pensiun dini.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
"Yang sudah tua, yang subcritical teknologi itu juga yang tersedia, kemudian juga pemabngkit tersebut, bicara apakah ada di 150 kV atau 500 kV itu yang tersedia adalah yang di 500 kV, yang diutamanakan untuk pensiun," tutur Herry .
Sebelumnya, Kementerian ESDM menyatakan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Untuk Penyediaan Tenaga Listrik atau Perpres EBT akan meningkatkan arah kebijakan percepatan pengakhiran masa operasional pembangkit listrik batu bara atau PLTU di Indonesia.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Wanhar mengatakan, Perpres tersebut secara jelas telah mengamanatkan untuk membuat peta jalan terkait percepatan pengakhiran operasional PLTU, baik milik PT PLN (Persero) sendiri maupun yang berkontrak jual beli dengan pengembang listrik swasta. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk menuju ke arah transisi energi dan mencapai target net zero emission pada 2060.
"Dengan keluarnya Perpres ini memantapkan kita ke arah pensiun dini akan seperti apa karena Perpres amanahkan segera buat roadmap," ujar Wanhar dalam acara sosialisasi Perpres EBT, Jumat lalu seperti dikutip dari Bisnis.
Pada Juli 2022 lalu, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN akan mengurangi jumlah PLTU sekitar 19 GW hingga 2045. Lalu menggunakan teknologi CCUS pada PLTU yang masih akan beroperasi, untuk mencapai carbon neutral di 2060.