Sembari mengokang karaben Jepangnya, dia berteriak kepada orang-orang kampung untuk secepatnya menyelamatkan diri masing-masing. Pada saat itulah, sebutir peluru menembus dadanya.
"Saya dengar, dia masih teriak 'merdeka'," kenang Kastal.
Baca Juga:
Jelang HUT TNI ke 78, Panglima TNI Ziarah ke Makam Jenderal Soedirman
Tongwan tersungkur di pinggir sungai dengan lumuran darah memenuhi seluruh tubuhnya. Beberapa serdadu Belanda menendangnya sebelum melepaskan lagi tembakan penghabisan ke tubuh malang itu. Tongwan mengerejat sejenak, nyawanya lantas terbang meninggalkan raganya yang terkapar kaku.
Jasad Tong Wan sekarang dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga Rawagede. Nisan sederhana yang tertulis namanya, menjadi saksi bisu bahwa gerakan pembebasan bukan soal etnis, agama atau warna kulit melainkan keyakinan akan kemerdekaan yang diinginkan setiap manusia di mana pun berada.
Hampir sezaman dengan Tong Wan, di Solo tersebutlah seorang anak muda Tionghoa lain bernama Sie King Lin. Pada 1949, remaja kelahiran tahun 1933 itu tercatat sebagai anggota Tentara Pelajar Subwehrkreise 106 Arjuna.
Baca Juga:
Polisi Amankan Unras Solidaritas Rempang Galang di Makam Pahlawan
Bersama rekannya bernama Soehadi, King Lin yang akrab dipanggil Ferry, dikenal kawan-kawannya sebagai dua serangkai yang pandai membuat pamflet dan coretan propaganda melawan pendudukan tentara Belanda.
"Salah satu karya mereka yang dikenal masyarakat Solo saat itu adalah sebaris coretan yang tertera di suatu tembok, berbunyi “eens komt de dag dat Republik Indonesia zal herrijzen” yang artinya: pada suatu hari Republik Indonesia akan muncul kembali," ungkap Iwan Santosa Ong, penulis buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara sampai Indonesia.
Suatu malam pada 14 Juli 1949, King Lin bersama Soehadi kembali melakukan aksinya. Tak dinyana, saat mereka memasang pamflet di satu tembok kota, kepergok suaseregu patroli militer Belanda yang dilengkapi sebuah panser.