WahanaNews-Kalteng | Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergey Lavrov pada Selasa (15/3/2022) mengungkapkan kembali pembicaraan di Wina soal lanjutan Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA) di masa lalu.
Secara faktual, Arab Saudi sangat menentang kesepakatan nuklir yang membatasi produksi uranium Iran dengan imbalan mencabut sanksi ekonomi Amerika Serikat (AS) tersebut.
Baca Juga:
PBB Tunjuk Retno Marsudi Sebagai Penggerak Agenda Air Global
“Sebagai bagian dari tren penolakan terhadap Washington yang berkelanjutan, Riyadh dilaporkan mempertimbangkan menetapkan harga beberapa penjualan minyaknya dalam yuan China, bukan dolar Amerika Serikat,” papar laporan Wall Street Journal pada Selasa.
Menurut surat kabar itu, pembicaraan telah berlangsung selama enam tahun, tetapi telah dipercepat dalam beberapa pekan terakhir karena meningkatnya frustrasi di Riyadh dengan Washington.
Kekecewaan Saudi itu termasuk atas permusuhan pemerintahan Biden terhadap perang koalisi yang dipimpin Saudi di Yaman dan niatnya menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015.
Baca Juga:
Sekjen PBB Pilih Menlu RI Retno Marsudi Jadi Utusan Khusus
“Dinamika telah berubah secara dramatis. Hubungan AS dengan Saudi telah berubah, China adalah importir minyak mentah terbesar di dunia dan mereka menawarkan banyak insentif yang menguntungkan bagi kerajaan," papar seorang pejabat Saudi yang akrab dengan pembicaraan tersebut kepada WSJ.
Pejabat Saudi itu menambahkan, “China telah menawarkan semua yang bisa Anda bayangkan kepada kerajaan.”
Setelah berita tentang kesepakatan potensial pecah pada Selasa, nilai yuan luar negeri melonjak relative tinggi terhadap dolar AS selama perdagangan Asia, Bloomberg melaporkan.